Para ulama berselisih pendapat mengenai hukum ‘azl pada istri.
1. Pendapat pertama
Menyatakan boleh secara mutlak (tanpa syarat), baik diizinkan oleh istri atau pun tidak. Namun jika seseorang meninggalkannya, maka itu lebih baik. Inilah pendapat yang rojih (pendapat lebih kuat) menurut Syafi’iyah. Alasannya, karena hak istri adalah disenangkan (dengan melakukan ‘azl pun sudah terpenuhi), walau tidak keluar mani. Namun untuk melakukan ‘azl disunnahkan meminta izin pada istri terlebih dahulu. Dengan mengacu pada dalil dari Jabir bin Abdillah sebagai berikut :
كُنَّا نَعْزِلُ وَالْقُرْآنُ يَنْزِلُ
“Kami dahulu pernah melakukan ‘azl di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Qur’an turun ketika itu” (HR. Bukhari no. 5208 dan Muslim no. 1440).
كُنَّا نَعْزِلُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَبَلَغَ ذَلِكَ نَبِىَّ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَلَمْ يَنْهَنَا.
“Kami dahulu melakukan ‘azl di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sampai ke telinga beliau, namun beliau tidak melarangnya” (HR. Muslim no. 1440).
2. Pendapat kedua
Membolehkan dengan bersyarat (ada hajat). Namun jika tidak ada hajat, maka dimakruhkan. Inilah yang menjadi pendapat ‘Umar, ‘Ali, Ibnu ‘Umar, Ibnu Mas’ud dan Imam Malik. Pendapat ini menjadi pendapat kedua di kalangan Syafi’iyah. Pendapat ini juga menjadi pendapat ulama Hanafiyah. Namun pendapat ini membolehkan ‘azl tanpa izin istri jika zaman telah rusak dan bisa memberikan pengaruh buruk pada anak yang dilahirkan nantinya (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 30: 81). Pendapat ini mengambil hadits dari ‘Umar bin Khottob yaitu :
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ يُعْزَلَ عَنِ الْحُرَّةِ إِلاَّ بِإِذْنِهَا.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang melakukan ‘azl terhadap wanita merdeka kecuali dengan izinnya.” (HR. Ibnu Majah no. 1928, Al Baihaqi dalam Al Kubro 7: 231. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini dho’if)
Dan juga ada hadits dari Ibnu ‘Abbas
نهى عن عزل الحرة إلا بإذنها
“Terlarang melakukan ‘azl terhadap wanita merdeka kecuali dengan izinnya” (HR. Al Baihaqi dalam Al Kubro 7: 231. Ibnu Hajar dalam At Talkhish 3: 188 mendhoi’fkan salah satu perowinya)
Sedangkan dalil yang menyatakan ‘azl itu makruh ketika tidak ada uzur, karena azl adalah wasilah (jalan) untuk mempersedikit keturunan dan memotong lezatnya hubungan intim. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri memerintahkan untuk memperbanyak keturunan dengan sabdanya,
تَنَاكَحُوْا تَكَثَرُوْا
“Menikahlah dan perbanyaklah keturunan” (HR. ‘Abdur Rozaq 6: 173. Syaikh Al Albani menyatakan hadits inidho’if sebagaimana dalam As Silsilah Adh Dho’ifah 3480)
Di antara uzur yang membolehkan melakukan ‘azl, yaitu:
- Jika wanita yang disetubuhi berada di negeri kafir dan khawatir terpengaruhnya kekafiran ketika anak dilahirkan di negeri tersebut.
- Jika wanita yang disetubuhi adalah hamba sahaya dan takut masih terpengaruhnya perbudakan pada anak yang dilahirkan nantinya.
- Jika wanita tersebut bisa terkena penyakit ketika hamil atau penyakitnya bertambah parah.
- Jika khawatir menjadi lemah saat anak masih butuh menyusui.
- Jika zaman telah rusak dan khawatir pada rusaknya keturunan nantinya (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 30: 82).
Wallahu a'lam bishawab